Dikesempatan kali ini saya ingin menulis tentang kiat cermat menakar pribadi seseorang. Isi dari tulisan ini bersumber dari Mbah Yai saya dulu. Saya masih inget betul tentang omongan Mbah Yai saya ini biarpun saya sudah lama meninggalkan PP mungkin ada sekitar 6 tahun yang lalu. Dulu beliau selalu ngomongi (ngasih tau) saya tentang pentingnya hal ini
“Jika kamu hendak menjadikan seseorang sebagai sahabat setiamu, maka terlebih dahulu buatlah dia marah!”. Nasehat ini datang dari Luqmanul Hakim yang diberikan kepada anaknya. Tentu saja tokoh hikmah itu tidak sedang bermain-main dengan kata. Namun dirinya tengah menggelar sebuah peta; bahwa kesejatian sahabat bisa diukur dengan termometer kemarahan.
Dengan kata lain. Jika seseorang bisa berlaku adil sewaktu dia marah, maka pilihlah dia sebagai sahabat sejatimu. Akan tetapi jika sikap keadilan itu sirna dibalik api kemarahannya, maka segeralah menjauh darinya. Lantas dapatkah kita menahan amarah, saat perasaan itu berkecamuk didalam jiwa?
Berupaya agar dalam seluruh hidup sama sekali tidak pernah marah, kiranya hal itu mengingkari kodrat kemanusiaan. Sebab amarah merupakan tabiat dasar perwatakan manusia. Maka jangan pernah bermimpi untuk bisa menghindari sepenuhnya. Sedangkan tugas kehidupan kita hanyalah memberikan batasan dan tak melepasnya tanpa control. Sehingga andaikata harus terpaksa marah, maka kemarahan itu pun masih dalam koridor dan porsi seperlunya.
Alangkah ngerinya sekedar membayangkan sebuah amarah yang lepas tak terkendali? Sebab kita sudah bisa menduga-duga tentang akibatnya. Betapa keharmonisan rumah tangga tiba-tiba saja berantakan gara-gara amarah yang tak bisa diredam. Betapa orang tua rela mengorbankan anaknya, hanya lantaran demi kepuasan melampiaskan rasa amarahnya. Betapa perasan amarah seseorang bisa berkembang menjadi sebuah amuk massa yang mencengangkan? Maka jangan sekali-kali melakukan keputusan apapun ketika dalam kodisi marah.
“Jika kamu hendak menjadikan seseorang sebagai sahabat setiamu, maka terlebih dahulu buatlah dia marah!”. Nasehat ini datang dari Luqmanul Hakim yang diberikan kepada anaknya. Tentu saja tokoh hikmah itu tidak sedang bermain-main dengan kata. Namun dirinya tengah menggelar sebuah peta; bahwa kesejatian sahabat bisa diukur dengan termometer kemarahan.
Dengan kata lain. Jika seseorang bisa berlaku adil sewaktu dia marah, maka pilihlah dia sebagai sahabat sejatimu. Akan tetapi jika sikap keadilan itu sirna dibalik api kemarahannya, maka segeralah menjauh darinya. Lantas dapatkah kita menahan amarah, saat perasaan itu berkecamuk didalam jiwa?
Berupaya agar dalam seluruh hidup sama sekali tidak pernah marah, kiranya hal itu mengingkari kodrat kemanusiaan. Sebab amarah merupakan tabiat dasar perwatakan manusia. Maka jangan pernah bermimpi untuk bisa menghindari sepenuhnya. Sedangkan tugas kehidupan kita hanyalah memberikan batasan dan tak melepasnya tanpa control. Sehingga andaikata harus terpaksa marah, maka kemarahan itu pun masih dalam koridor dan porsi seperlunya.
Alangkah ngerinya sekedar membayangkan sebuah amarah yang lepas tak terkendali? Sebab kita sudah bisa menduga-duga tentang akibatnya. Betapa keharmonisan rumah tangga tiba-tiba saja berantakan gara-gara amarah yang tak bisa diredam. Betapa orang tua rela mengorbankan anaknya, hanya lantaran demi kepuasan melampiaskan rasa amarahnya. Betapa perasan amarah seseorang bisa berkembang menjadi sebuah amuk massa yang mencengangkan? Maka jangan sekali-kali melakukan keputusan apapun ketika dalam kodisi marah.
1 comments:
boleh juga nih.
Posting Komentar
hayo, yang komeng dapet pahala